What The Health: Auto Vegan! Eh Tunggu dulu

Sunday, January 17, 2021

What The Health
What The Health Movie

Sepertinya agak ketinggalan bila aku menulis tentang  film dokumenter yang diproduksi di Amerika Serikat sekitar 4 tahun silam yaitu “What The Health. Kondisi #dirumahaja karena pandemi Covid-19 memungkinkan pengguna Netflix akan menonton ulang film yang disutradarai oleh Kip Anderson dan Keegan Kuhn ini, jadi ku berpikir untuk mengomentari  pesan utama yang disampaikan dalam film “What the Health” (2017).

Film dokumenter “What the Health”, mengajak penonton untuk lebih waspada terhadap apa yang mereka konsumsi serta dampak yang akan dihadapi setelah mengonsumsi makanan jenis tertentu.  “What the Health”  memberikan solusi terkait beberapa penyakit seperti diabetes, hipertensi, asma, kanker, dll. Selain hal tersebut, untuk menguatkan pesan yang ingin disampaikan, film ini juga memaparkan fakta-fakta kesehatan  yang mengejutkan dari  Agency for Research on Cancer (IARC) dan beberapa intitusi kesehatan lainnya. Kita juga dapat melihat langsung mengenai tanggapan organisasi kesehatan seperti American Diabetes Center, Pink Ribbons, dll mengenai diet vegan dan diet yang mereka anjurkan dalam website mereka masing-masing. Zat-zat ‘berbahaya’ dan proses produksi makanan, terutama daging, ikan, unggas, telur, dan susu juga diekspos dalam film ini, termasuk perbandingan anatomi pencernaan (mencakup susunan gigi dan panjang usus) antara omnivora dan frugivora, Paleo-diet, serta intoleransi laktosa. Penelitian terpisah menyebutkan bahwa pola makan yang bersumber pada daging, minyak nabati, gula (energy-dense food/ Western diet) memang menyebabkan beberapa penyakit tersebut diatas1. “What The Health” yang telah menuai beberapa kritik serta dianggap dapat mempengaruhi penontonnya dalam memahami atau memaknai suatu informasi2,3,4,5,6. Anderson dengan scare tactic-nya, ingin menunjukkan fakta pada penonton mengenai kesehatan dan pola makan yang benar sesuai data yang telah mereka peroleh, yaitu vegan.

Jadi, jenis pola makan yang seperti apa yang baik untuk diyakini?

Mari kita menilik perjalanan evolusi pola makan manusia7,8,9.

Dimulai dari kejadian dua juta tahun yang lalu. Konsumsi daging menjadi tahap krusial dalam sejarah evolusi manusia untuk mengembangkan kapasitas volume otak nenek moyang kita, Homo erectus. Homo erectus disamping mengonsumsi makanan berbasis tumbuhan yang berkualitas rendah, mereka memulai mengonsumsi daging yang berkalori tinggi untuk membantu tahap perkembangan volume otak. Mencerna serat tumbuhan yang lebih sedikit, memungkinkan manusia memiliki usus yang lebih kecil. Energi yang dihasilkan dari konsumsi makanan tersebut dialihkan untuk pembentukan otak yang rakus energi. Otak manusia membutuhkan energi sebesar 20% dalam kondisi istirahat sedangkan kera 8%. Dari sini dapat disimpulkan, sejak masa H. erectus, tubuh manusia bergantung pada makanan padat energi, terutama pada daging.

Evolusi kapasitas otak, Encyclopædia Britannica, Inc.

Memang benar pemburu dan peramu menggantungkan hidupnya pada daging dibandingkan jenis makanan lainnya. Tetapi sebagian besar juga mengalami masa-masa sulit, dimana hewan buruan tidak didapatkan.

Jadi bagaimana pemburu dan peramu mendapatkan energi ketika daging tidak ada? Terjalin  kerjasama yang baik antara “laki-laki pemburu” dan “perempuan peramu” dengan bantuan anak-anaknya, peramu menyediakan sumber energi dimasa-masa sulit. Ketika daging, buah, madu tak juga didapatkan, mereka bergantung pada “fallback foods”. Contohnya suku pemburu dan peramu Hazda (Tanzania Utara), hampir 70% sumber kalori didapatkan dari tanaman.

Manusia memang membutuhkan daging kala itu, namun sesungguhnya mereka juga menggantungkan hidupnya pada tanaman. Ditemukannya sisa-sisa tanaman pada fosil gigi dan alat batu, menunjukkan bahwa manusia telah mengonsumsi biji-bijian dan umbi-umbian selama 100 ribu tahun, waktu cukup lama untuk mengembangkan toleransi terhadap jenis makanan tersebut. Gigi, rahang, dan bentuk wajah, serta DNA telah berubah sejak adanya penemuan pertanian, namun evolusi manusia masih tetap berjalan. Sebagai contoh adalah toleransi terhadap laktosa.

Semua manusia mencerna susu ibu sejak bayi, anak-anak yang disapih tidak lagi perlu mencerna susu. Akibatnya, mereka berhenti membuat enzim laktase (enzim yang memecah laktosa menjadi gula sederhana). Sampai hewan ternak mulai didomestikasi 10.000 tahun yang lalu, dan setelah manusia mulai menggembala ternak, enzim tersebut sangat bermanfaat untuk mencerna susu, dan toleransi laktosa berkembang secara mandiri pada kelompok penggembala sapi di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Kelompok yang tidak bergantung pada ternak, seperti Cina dan Thailand, Indian Pima (Indian Amerika Utara), Amerika Barat Daya, dan Bantu (Afrika Barat), tetap tidak toleran terhadap laktosa.

Kemampuan manusia juga bervariasi mencerna gula dari makanan bertepung saat mereka mengunyahnya, tergantung pada berapa banyak salinan gen tertentu yang mereka warisi. Populasi yang secara tradisional makan lebih banyak makanan bertepung, seperti Hadza, memiliki lebih banyak salinan gen daripada pemakan daging di Yakut (Siberia), dan air liur mereka membantu memecah pati sebelum makanan mencapai perut mereka (enzim amilase: memecah pati menjadi gula).

Beberapa nenek moyang yang beradaptasi dengan pola makan nabati mungkin lebih baik tidak makan daging sebanyak orang Yakut. Studi terbaru mengkonfirmasi temuan lama bahwa meskipun manusia telah makan daging selama dua juta tahun, konsumsi berlebihan meningkatkan aterosklerosis dan kanker di sebagian besar populasi dan penyebabnya bukan hanya lemak jenuh atau kolesterol. Bakteri usus kita mencerna nutrisi dalam daging yang disebut L-karnitin. Dalam satu penelitian tikus, pencernaan L-karnitin meningkatkan plak penyumbatan arteri. Penelitian juga menunjukkan bahwa sistem kekebalan manusia menyerang gula dalam daging merah yang disebut Neu5Gc, menyebabkan peradangan tingkat rendah pada anak-anak tetapi pada akhirnya dapat menyebabkan kanker.

 “You are what you eat.” Lebih tepatnya, Anda adalah apa yang dimakan nenek moyang Anda. Ada variasi yang luar biasa dalam makanan apa yang dapat dikembangkan manusia, tergantung pada warisan genetik. Pola makan tradisional saat ini termasuk pola makan vegetarian Jain di India, makanan berbasis daging dari Inuit, dan pola makan berbasis ikan dari orang Bajau Malaysia. Nochmani (Kepulauan Nicobar, India) mendapatkan protein dari serangga.

Studi menunjukkan bahwa kelompok masyarakat adat mendapat masalah ketika mereka meninggalkan pola makan tradisional dan gaya hidup aktif mereka serta memulai pola makan Barat (Western diet). Diabetes hampir tidak dikenal di antara suku Maya di Amerika Tengah hingga 1950-an. Saat mereka beralih ke pola makan Barat yang tinggi gula, angka diabetes meroket. Pengembara Siberia seperti penggembala rusa Evenk dan Yakut makan banyak daging, namun mereka hampir tidak memiliki penyakit jantung sampai jatuhnya Uni Soviet, ketika banyak yang menetap di kota-kota dan mulai makan makanan pasar. Saat ini sekitar setengah dari Yakut yang tinggal di desa mengalami kelebihan berat badan, dan hampir sepertiganya menderita hipertensi. Orang Tsimane yang memperoleh makanan dari pasar lebih rentan terkena diabetes dibandingkan mereka yang masih mengandalkan berburu dan meramu.

Dengan kata lain, tidak ada satu pola makan manusia yang ideal. Ciri khas manusia bukanlah selera kita akan daging, tetapi kemampuan kita untuk beradaptasi dengan banyak habitat dan mampu menggabungkan berbagai makanan untuk menciptakan banyak pola makan yang sehat. Sayangnya pola makan Barat modern tampaknya bukan salah satunya.

Revolusi terbesar dalam pola makan manusia bukanlah pada mulainya konsumsi daging, namun ketika kita memulai belajar memasak. Memasak menghasilkan makanan yang kaya energi  sehingga manusia bisa dengan mudahnya menaikkan berat badan.  Saat ini kita tidak dapat bertahan hidup hanya dengan makanan mentah dan tidak diolah. Pergeseran ke makanan olahan yang terjadi di seluruh dunia inilah yang berkontribusi pada meningkatnya epidemi obesitas dan penyakit terkait. Jika pola makan lebih mengedepankan banyak buah dan sayuran lokal, sedikit daging, ikan, beberapa biji-bijian, dan berolahraga satu jam sehari, itu akan menjadi kabar baik bagi kesehatan kita  dan untuk planet.

Pola makan vegan, vegetarian, paleo, flexitarian atau salah satu dari rangkaian diet yang tampaknya tak ada habisnya. Kita perlu memastikan bahwa kita makan dengan memperhatikan kualitas dan keberagaman makanan melalui konsumsi sumber daya lokal, serta meminimalkan makanan olahan, gaya hidup aktif, serta kurangi  konsumsi  daging. Akhirnya pemilihan pola makan bagi setiap individu harus berpegang pada genetik, lingkungan (seberapa sering kita berolahraga, dimana kita tinggal, paparan racun, dll), pola makan kita-ibu-nenek, preferensi pribadi, moral, dan agama.

Glosarium:

Fallback food: sumber makanan  dengan kualitas gizi rendah  yang menjadi komponen makanan penting selama periode makanan utama tidak didapatkan.

Flexitarian: pola makan yang berpusat pada makanan nabati dengan sesekali mengonsumsi daging

Frugivora: pemakan buah-buahan

Homo erectus: Dianggap sebagai nenek moyang manusia, miliki proporsi tubuh seperti manusia, dengan lengan yang lebih pendek dan kaki yang lebih panjang dibandingkan dengan tubuhnya. Hominin pertama yang diketahui bermigrasi keluar dari Afrika, dan mungkin yang pertama bisa memasak makanan

Intoleransi laktosa: gangguan pencernaan akibat tubuh tidak dapat mencerna laktosa dalam susu

L-karnitin: asam amino yang ditemukan pada daging dan susu

Neu5Gc: N-acetylneuraminic acid, molekul gula yang ditemukan pada permukaan sel pada kebanyakan mamalia tetapi tidak pada manusia.

Omnivora: pemakan segala (makhluk yang memakan tumbuhan dan hewan atau daging)

Paleo diet: pola makan manusia purba (caveman diet) adalah diet yang mengadaptasi kebiasaan makan nenek moyang pada zaman dulu dan diharuskan mengonsumsi makanan “alami” (bukan buatan).

Scare tactic: taktik menakuti dalam penyampaian pesan

Vegan: pola makan yang benar-benar tidak mengonsumsi daging dan semua produk turunan hewan.

Vegetarian: pola makan dengan tidak makan daging tetapi makan tumbuhan, masih toleransi untuk mengonsumsi beberapa produk yang dihasilkan hewan seperti susu, telur dan madu.

You Might Also Like

0 comments