What The Health Movie |
Sepertinya agak ketinggalan bila aku menulis tentang film dokumenter yang diproduksi di Amerika Serikat sekitar 4 tahun silam yaitu “What The Health”. Kondisi #dirumahaja karena pandemi Covid-19 memungkinkan pengguna Netflix akan menonton ulang film yang disutradarai oleh Kip Anderson dan Keegan Kuhn ini, jadi ku berpikir untuk mengomentari pesan utama yang disampaikan dalam film “What the Health” (2017).
Film dokumenter “What the Health”, mengajak penonton untuk lebih waspada terhadap apa
yang mereka konsumsi serta dampak yang akan dihadapi setelah mengonsumsi
makanan jenis tertentu. “What the Health” memberikan solusi terkait beberapa
penyakit seperti diabetes, hipertensi, asma, kanker, dll. Selain hal tersebut,
untuk menguatkan pesan yang ingin disampaikan, film ini juga memaparkan
fakta-fakta kesehatan yang mengejutkan dari Agency
for Research on Cancer (IARC) dan beberapa intitusi kesehatan lainnya. Kita
juga dapat melihat langsung mengenai tanggapan organisasi kesehatan seperti American Diabetes Center, Pink Ribbons,
dll mengenai diet vegan dan diet yang mereka anjurkan dalam website mereka
masing-masing. Zat-zat ‘berbahaya’ dan proses produksi makanan, terutama
daging, ikan, unggas, telur, dan susu juga diekspos dalam film ini, termasuk
perbandingan anatomi pencernaan (mencakup susunan gigi dan panjang usus) antara
omnivora dan frugivora, Paleo-diet, serta intoleransi laktosa. Penelitian terpisah
menyebutkan bahwa pola makan yang bersumber pada daging, minyak nabati, gula (energy-dense food/ Western diet) memang menyebabkan beberapa penyakit tersebut diatas1.
“What The Health” yang telah menuai
beberapa kritik serta dianggap dapat mempengaruhi penontonnya dalam memahami
atau memaknai suatu informasi2,3,4,5,6. Anderson dengan scare tactic-nya, ingin menunjukkan
fakta pada penonton mengenai kesehatan dan pola makan yang benar sesuai data
yang telah mereka peroleh, yaitu vegan.
Jadi, jenis pola makan yang seperti apa yang baik untuk diyakini?
Mari kita menilik perjalanan evolusi
pola makan manusia7,8,9.
Dimulai dari kejadian dua juta tahun yang lalu. Konsumsi
daging menjadi tahap krusial dalam sejarah evolusi manusia untuk mengembangkan
kapasitas volume otak nenek moyang kita, Homo
erectus. Homo erectus disamping mengonsumsi makanan berbasis tumbuhan yang
berkualitas rendah, mereka memulai mengonsumsi daging yang berkalori tinggi untuk
membantu tahap perkembangan volume otak. Mencerna serat tumbuhan yang lebih
sedikit, memungkinkan manusia memiliki usus yang lebih kecil. Energi yang
dihasilkan dari konsumsi makanan tersebut dialihkan untuk pembentukan otak yang
rakus energi. Otak manusia membutuhkan energi sebesar 20% dalam kondisi
istirahat sedangkan kera 8%. Dari sini dapat disimpulkan, sejak masa H. erectus, tubuh manusia bergantung
pada makanan padat energi, terutama pada daging.
Evolusi kapasitas otak, Encyclopædia Britannica, Inc. |
Memang benar pemburu dan peramu menggantungkan hidupnya pada daging dibandingkan jenis makanan lainnya. Tetapi sebagian besar juga mengalami masa-masa sulit, dimana hewan buruan tidak didapatkan.
Jadi bagaimana pemburu dan peramu
mendapatkan energi ketika daging tidak ada? Terjalin kerjasama yang baik antara “laki-laki pemburu”
dan “perempuan peramu” dengan bantuan anak-anaknya, peramu menyediakan sumber energi
dimasa-masa sulit. Ketika daging, buah, madu tak juga didapatkan, mereka
bergantung pada “fallback foods”. Contohnya
suku pemburu dan peramu Hazda (Tanzania Utara), hampir 70% sumber kalori
didapatkan dari tanaman.
Manusia memang membutuhkan daging
kala itu, namun sesungguhnya mereka juga menggantungkan hidupnya pada tanaman.
Ditemukannya sisa-sisa tanaman pada fosil gigi dan alat batu, menunjukkan bahwa
manusia telah mengonsumsi biji-bijian dan umbi-umbian selama 100 ribu tahun,
waktu cukup lama untuk mengembangkan toleransi terhadap jenis makanan tersebut.
Gigi, rahang, dan bentuk wajah, serta DNA telah berubah sejak adanya penemuan
pertanian, namun evolusi manusia masih tetap berjalan. Sebagai contoh adalah
toleransi terhadap laktosa.
Semua manusia mencerna susu ibu sejak
bayi, anak-anak yang disapih tidak lagi perlu mencerna susu. Akibatnya, mereka
berhenti membuat enzim laktase (enzim yang memecah laktosa menjadi gula
sederhana). Sampai hewan ternak mulai didomestikasi 10.000 tahun yang lalu, dan
setelah manusia mulai menggembala ternak, enzim tersebut sangat bermanfaat
untuk mencerna susu, dan toleransi laktosa berkembang secara mandiri pada
kelompok penggembala sapi di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika. Kelompok yang
tidak bergantung pada ternak, seperti Cina dan Thailand, Indian Pima (Indian
Amerika Utara), Amerika Barat Daya, dan Bantu (Afrika Barat), tetap tidak
toleran terhadap laktosa.
Kemampuan manusia juga bervariasi
mencerna gula dari makanan bertepung saat mereka mengunyahnya, tergantung pada
berapa banyak salinan gen tertentu yang mereka warisi. Populasi yang secara
tradisional makan lebih banyak makanan bertepung, seperti Hadza, memiliki lebih
banyak salinan gen daripada pemakan daging di Yakut (Siberia), dan air liur
mereka membantu memecah pati sebelum makanan mencapai perut mereka (enzim
amilase: memecah pati menjadi gula).
Beberapa nenek moyang yang
beradaptasi dengan pola makan nabati mungkin lebih baik tidak makan daging
sebanyak orang Yakut. Studi terbaru mengkonfirmasi temuan lama bahwa meskipun
manusia telah makan daging selama dua juta tahun, konsumsi berlebihan
meningkatkan aterosklerosis dan kanker di sebagian besar populasi dan
penyebabnya bukan hanya lemak jenuh atau kolesterol. Bakteri usus kita mencerna
nutrisi dalam daging yang disebut L-karnitin. Dalam satu penelitian tikus,
pencernaan L-karnitin meningkatkan plak penyumbatan arteri. Penelitian juga
menunjukkan bahwa sistem kekebalan manusia menyerang gula dalam daging merah
yang disebut Neu5Gc, menyebabkan peradangan tingkat rendah pada anak-anak
tetapi pada akhirnya dapat menyebabkan kanker.
“You are what you eat.” Lebih tepatnya, Anda adalah apa
yang dimakan nenek moyang Anda. Ada variasi yang luar biasa dalam makanan
apa yang dapat dikembangkan manusia, tergantung pada warisan genetik. Pola
makan tradisional saat ini termasuk pola makan vegetarian Jain di India,
makanan berbasis daging dari Inuit, dan pola makan berbasis ikan dari orang
Bajau Malaysia. Nochmani (Kepulauan Nicobar, India) mendapatkan protein dari
serangga.
Studi menunjukkan bahwa kelompok
masyarakat adat mendapat masalah ketika mereka meninggalkan pola makan
tradisional dan gaya hidup aktif mereka serta memulai pola makan Barat (Western diet). Diabetes hampir tidak
dikenal di antara suku Maya di Amerika Tengah hingga 1950-an. Saat mereka
beralih ke pola makan Barat yang tinggi gula, angka diabetes meroket.
Pengembara Siberia seperti penggembala rusa Evenk dan Yakut makan banyak
daging, namun mereka hampir tidak memiliki penyakit jantung sampai jatuhnya Uni
Soviet, ketika banyak yang menetap di kota-kota dan mulai makan makanan pasar.
Saat ini sekitar setengah dari Yakut yang tinggal di desa mengalami kelebihan
berat badan, dan hampir sepertiganya menderita hipertensi. Orang Tsimane yang memperoleh
makanan dari pasar lebih rentan terkena diabetes dibandingkan mereka yang masih
mengandalkan berburu dan meramu.
Dengan kata lain, tidak ada satu pola
makan manusia yang ideal. Ciri khas manusia bukanlah selera kita akan daging,
tetapi kemampuan kita untuk beradaptasi dengan banyak habitat dan mampu
menggabungkan berbagai makanan untuk menciptakan banyak pola makan yang sehat.
Sayangnya pola makan Barat modern tampaknya bukan salah satunya.
Revolusi
terbesar dalam pola makan manusia bukanlah pada mulainya konsumsi daging, namun
ketika kita memulai belajar memasak. Memasak
menghasilkan makanan yang kaya energi sehingga
manusia bisa dengan mudahnya menaikkan berat badan. Saat ini kita tidak dapat bertahan hidup
hanya dengan makanan mentah dan tidak diolah. Pergeseran ke makanan olahan yang
terjadi di seluruh dunia inilah yang berkontribusi pada meningkatnya epidemi
obesitas dan penyakit terkait. Jika pola makan lebih mengedepankan banyak buah dan
sayuran lokal, sedikit daging, ikan,
beberapa biji-bijian, dan berolahraga satu jam sehari, itu akan menjadi kabar
baik bagi kesehatan kita dan untuk
planet.
Pola makan vegan, vegetarian, paleo,
flexitarian atau salah satu dari rangkaian diet yang tampaknya tak ada
habisnya. Kita perlu memastikan bahwa kita makan dengan memperhatikan kualitas
dan keberagaman makanan melalui konsumsi sumber daya lokal, serta meminimalkan
makanan olahan, gaya hidup aktif, serta kurangi
konsumsi daging. Akhirnya
pemilihan pola makan bagi setiap individu harus berpegang pada genetik,
lingkungan (seberapa sering kita berolahraga, dimana kita tinggal, paparan
racun, dll), pola makan kita-ibu-nenek, preferensi pribadi, moral, dan agama.
Glosarium:
Fallback food:
sumber makanan dengan kualitas gizi
rendah yang menjadi komponen makanan
penting selama periode makanan utama tidak didapatkan.
Flexitarian:
pola makan yang berpusat pada makanan nabati dengan sesekali mengonsumsi daging
Frugivora:
pemakan buah-buahan
Homo erectus: Dianggap
sebagai nenek moyang manusia, miliki proporsi tubuh seperti manusia, dengan
lengan yang lebih pendek dan kaki yang lebih panjang dibandingkan dengan
tubuhnya. Hominin pertama yang diketahui bermigrasi keluar dari Afrika, dan
mungkin yang pertama bisa memasak makanan
Intoleransi laktosa: gangguan pencernaan akibat tubuh tidak dapat mencerna laktosa dalam susu
L-karnitin: asam
amino yang ditemukan pada daging dan susu
Neu5Gc: N-acetylneuraminic
acid, molekul gula yang ditemukan pada permukaan sel pada kebanyakan mamalia
tetapi tidak pada manusia.
Omnivora: pemakan
segala (makhluk yang memakan tumbuhan dan hewan atau daging)
Paleo diet:
pola makan manusia purba (caveman diet) adalah diet yang mengadaptasi kebiasaan
makan nenek moyang pada zaman dulu dan diharuskan mengonsumsi makanan “alami”
(bukan buatan).
Scare tactic:
taktik menakuti dalam penyampaian pesan
Vegan: pola
makan yang benar-benar tidak mengonsumsi daging dan semua produk turunan hewan.
Vegetarian:
pola makan dengan tidak makan daging tetapi makan tumbuhan, masih toleransi
untuk mengonsumsi beberapa produk yang dihasilkan hewan seperti susu, telur dan
madu.