Jangan menghilang, aku tak bisa, dan tak biasa"

Tulisnya pada sepucuk postcard bergambar jalanan lengang untuk seorang Chandra.

Pertemuan empat bulan yang lalu mengukir sebuah kisah bagi si gadis yang tak pernah mencinta, Bunga.

Walaupun jejak kakinya tergambar di salju Bavaria, 

Lain halnya dengan segala jejak rasa.

Masih sama, masih milik Chandra.

Tak disangka, setelah satu bulan dari pertemuan itu,

Rasa yang biasa berubah menjadi perasaan serakah dan ingin memiliki.

Chandra telah termenangkan, tapi Bunga sengaja melupa.

Kata-kata itu tak dapat mencairkan keteguhan hatinya.

Ia ingin menghapuskan semua kesalahpahaman.

Perhatian dan segala bantuan telah disalahartikan.

Chandra kecewa, dia memutuskan untuk pergi.

Chandra tak ingin menjadi sumber duri.

Hutan telah menjadi arena pertentangan antara berbagai pihak yang berkepentingan dengan sumber daya hutan. Sering kepentingan satu pihak berbenturan dengan kepentingan pihak lainnya (Wondolleck, 1998; Daniels dan Walker, 2001; Buckles, 1999; Wollenberg,dkk. 2001 dalam Wulan et. al., 2004). Beberapa penyebab umum konflik di sektor kehutanan berdasarkan laporan tersebut antara lain adalah: kegiatan (Hak Pengusahaan Hutan) HPH, aktivitas penebangan liar (illegal logging), penetapan kawasan lindung dan penetapan kawasan taman nasional, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit. Seperti yang terjadi di kawasan “repong damar” di Krui Lampung (Wulan et. al., 2004) bahwa penyebab konflik antara masyarakat dengan proyek pengembangan kelapa sawit adalah karena adanya tumpang tindih lahan. Di samping itu, konflik juga terjadi antara masyarakat dengan Departemen Kehutanan, dalam hal batas wilayah hutan produksi terbatas yang juga mencakup kebun damar masyarakat. Konflik juga bisa dipicu karena persoalan kompensasi (ganti rugi) yang tidak layak diterima masyarakat karena beroperasinya perusahaan-perusahaan seperti HPH dan pertambangan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan mereka (Rhee, 2000; Yasmi 2002, 2003 dalam Wulan et. al., 2004 ).

Dilihat dari segi sejarah, pada tahun 1998 di akhir masa pemerintahan Soeharto ketika Menteri Kehutanan mengakui eksistensi masyarakat adat di pesisir Krui Lampung untuk mengelola hutan negara yang diusahakan sebagai repong damar (Adiwibowo et. al., 2013). Pada mulanya, keberadaan kebun atau repong damar yang dikelola oleh masyarakat di dalam kawasan itu tidak pernah oleh pemerintah diakui sebagai hasil budidaya masyarakat, tetapi lebih dianggap sebagai hutan alam yang dimanfaatkan atau dirambah oleh masyarakat. Seperti telah dikemukakan, memang secara kasat mata sulit membedakan antara repong damar dengan hutan alam, karena formasi tanaman dan pepohonan yang ada di dalam repong damar hampir mirip dengan formasi pepohonan di dalam hutan alam. Pada tahun 1990 Pemda Propinsi Lampung menetapkan peta Tata Guna Hutan Kesepekatan (TGHK) yang kemudian dikukuhkan Menteri Kehutanan. Berdasarkan peta TGHK itu, pemerintah melakukan perubahan fungsi "kawasan hutan" Pesisir Krui (Eks HPH Bina Lestari) menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas ± 44.120 hektar, Hutan Lindung (HL) seluas ± 12.742 hektar dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas ± 7.811 hektar. Realitas di lapangan menunjukkan, bahwa sekitar 57 desa yang memiliki sistem wanatani repong damar berinteraksi langsung dengan kawasan HPT-HL itu. Bahkan sebanyak 4 (empat) desa marga Bengkunat yang legal administratif di kecamatan Pesisir Selatan, pemukiman penduduknya berada dalam areal HPK (Adiwibowo et.al. 2013).

Sengketa Pesisir Krui dan Departemen Kehutanan atas batas hutan produksi terbatas, yang tumpang tindih dengan kebun Damar. Hutan ini didirikan tanpa masukan publik. pada tahun 1971 dan 1981, kemudian Menteri Pertanian menyisihkan area seluas 52000 ha sebagai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di sepanjang pantai Pesisir Krui, untuk konsesi penebangan. konsesi ini pertama kali muncul di peta kehutanan pada tahun 1991. Antara 1992 dan 1996, Dinas Kehutanan mulai membatasi hutan produksi terbatas dengan tanda batas. Selama periode ini, Damar petani mulai curiga bahwa tanah mereka juga sedang diklaim oleh negara (Michon et al., 2000 dalam Suporahardjo, 2003).

Di samping konflik batas wilayah antara masyarakat dengan Departemen Kehutanan, juga terjadi konflik antara masyarakat dengan Perusahaan pengembang kelapa sawit. PT KCMU dan PT PPL merupakan dua perusahaan yang mendapatkan konsesi dari Pemerintah Daerah untuk melakukan penanaman dan pengembangan usaha kelapa sawit di Pesisir Krui. PT KCMU mendapatkan areal seluas 25.000 hektar di kecamatan Pesisir Selatan, sedangkan PT PPL mendapatkan konsesi seluas 17.500 hektar di kecamatan Pesisir Selatan, Tengah dan Utara. Kasus konflik antara perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat itu menjadi terbuka, karena PT KCMU menebangi pohon-pohon dalam kebun damar untuk dijadikan kebun kelapa sawit (Adiwibowo et.al. 2013). Proses konversi lahan petani kelapa produksi minyak dilakukan melalui penggunaan paksaan dan intimidasi. Pada fase awal proyek, KCMU tidak mencoba untuk mengidentifikasi mana petani yang menyetujui dan tidak menyetujui, sebagai gantinya, tanah tradisional diambil secara paksa dengan bantuan pihak militer dan kebun Damar dihancurkan untuk menakut-nakuti petani. Sebanyak 128 keluarga dilaporkan kehilangan kebun Damar mereka. Ratusan petani lainnya kehilangan akses ke tanah mereka. Kemudian petani menghancurkan ratusan hektar perkebunan kelapa sawit sebagai bentuk protes dan balas dendam. Pada tahun 1996, pada puncak konflik di Pesisir Selatan, pemerintah daerah memutuskan untuk mengundang perusahaan swasta lain (PT Panji Padma Lestari atau PPL) untuk mengembangkan perkebunan di Pesisir Tengah dan Utara (pusat dan utara Pesisir). Lebih dari 12 000 ha disisihkan di daerah ini, termasuk 5 040 ha di Pesisir Selatan. PPL berusaha untuk menggunakan taktik yang sama untuk mengambil alih tanah. Namun, belajar dari pengalaman tetangga mereka di Pesisir Selatan, masyarakat di Pesisir Tengah dan Utara secara terbuka menolak proyek PPL. Pemerintah kabupaten mencoba meyakinkan petani untuk bergabung dengan proyek.. Petani dari Desa Pugung Malaya bahkan mengirim surat memprotes tentang proyek kepada Gubernur Provinsi Lampung dan ke Menteri Kehutanan.

Menurut permasalahan diatas adalah tampak bahwa konflik di Pesisir Krui telah muncul terutama sebagai akibat dari kebijakan pembangunan yang tidak menyertakan partisipasi publik atau mempertimbangkan sistem pengelolaan sumber daya alam lokal. Selanjutnya, sikap pemerintah terhadap pangsa komersial hanya melemahkan kepentingan baik itu sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Wijayanto (2002) tentang sistem agroforestri kompleks di Lampung Barat yaitu repong damar dalam suatu analisis ekonomi regional serta distribusi pendapatan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa sektor damar telah menjadi kegiatan dasar dan memberi pertumbuhan ekonomi positif di Lampung Barat. Distribusi pendapatan di tiap kecamatan di wilayah Pesisir Krui yang ditunjukkan dengan indeks Gini yaitu sebesar 0,356 untuk Kecamatan Pesisir Selatan; 0,300 untuk Kecamatan Pesisir Tengah; 0,526 untuk Kecamatan Pesisir Utara, dan 0,394 untuk wilayah Pesisir Krui. Hal ini menunjukkan kalau repong damar mempunyai kontribusi utama terhadap distribusi pendapatan di wilayah Pesisir Krui (Wijayanto, 2002 dalam Firdaus 2013).

Masyarakat Krui mendapatkan bantuan hukum dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) dan Walhi Lampung. Sedangkan Tim Krui mengajukan usulan kepada Menteri Lingkungan Hidup agar memberikan penghargaan Kalpataru kepada masyarakat Krui sebagai penyelamat lingkungan. Langkah ini ditempuh agar masyarakat Krui memperoleh kekuatan pendukung baru untuk menghentikan kegiatan perusakan kebun damar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit. Pada bulan Juni 1997 masyarakat berhasil memenangkan penghargaan Kalpataru dari Menteri Lingkungan Hidup. Selanjutnya beberapa lembaga seperti ICRAF, LATIN, WATALA dan lain-lain terus mendampingi dan mengadvokasi masyarakat Krui dalam bernegosiasi dengan Departemen Kehutanan terkait dengan status repong damar. Setelah melalui serangkaian pembahasan yang panjang, pada tanggal 23 Januari 1998 Menteri Kehutanan menerbitkan Surat tentang Penunjukan Kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Di Pesisir Krui, Kabupaten Lampung Barat, Propinsi Lampung yang merupakan Repong Damar dan Diusahakan oleh Masyarakat Hukum Adat, sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI). Namun, petani telah secara resmi menolak Surat Keputusan tersebut karena mereka merasa hal itu tidak memberikan jaminan penuh terhadap hak-hak kepemilikan kebun. Perbedaan pendapat ini masih tetap belum terselesaikan (Suporahardjo et. al., 2003).

Penanganan sengketa antara masyarakat Pesisir Selatan dan PT. KCMU (PT. Karya Canggih Mandiri Utama) pada Oktober 1998, tim dari 13 menerapkan rekomendasi tugas awal dan dengan demikian dapat membantu menyelesaikan masalah utama. KCMU akhirnya mengeluarkan kompensasi kepada 72 keluarga atas hilangnya tanaman mereka dan sertifikat tanah untuk kembalinya tanah mereka. Namun, selama transaksi, konflik baru muncul ketika mediator yang ditunjuk dari tim 13 menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan politik. Akibatnya, perselisihan tetap belum terpecahkan (Suporahardjo et. al., 2003). Strategi yang dapat saya usulkan dalam penyelesaian ini adalah koalisi dalam upaya membangun dan pembentukan tim mediasi multipihak sehingga terbentuk tim yang kuat dan mempunyai visi yang sama dalam mengatasi konflik. Tidak menggunakan paksaan/tekanan dalam pembuatan kebijakan ataupun negoisasi sebab penggunaan paksaan biasanya menghasilkan konflik berkepanjangan. Pemilihan mediator dalam proses penyelesaian konflik juga sangat penting, mediator tingkat nasional kemungkinan efektif dalam membantu mencapai kesepakatan yang dibuat. Perlu adanya edukasi tentang pentingnya sumber daya lokal (damar) kepada masyarakat lokal, sehingga dengan bekal pengetahuan, masyarakat lokal diharapkan tidak terpengaruh manipulasi oleh pihak ketiga yang menginginkan adanya pembangunan perkebunan sawit. Serta diperlukan manajemen sumber daya alam berbasis komunitas, sehingga masyarakat tetap dapat menikmati sumber daya lokal.

Referensi:

Adiwibowo, Soeryo, Mohamad Shohibuddin, Hariadi Kartodihardjo. 2013. Kontestasi Devolusi: Ekologi Politik Pengelolaan Hutan Berbasis Komunitas dalam Hariadi Kartodihardjo (ed.) Kembali ke Jalan Lurus: Kritik Penggunaan Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia. Bogor dan Yogyakarta: FORCI Development dan Tanah Air Beta.

Firdaus, N., A. Sudomo, E. Suhaendah, T.S. Widyaningsih, Sanudin, dan D.P. Kuswantoro. 2013. Riset Agroforestri di Indonesia. Ciamis: Balai Penelitian Teknologi Agroforestry.

Suporahardjo dan Wodicka S. 2003. Conflicts over community-based“ Repong” resource Management in Pesisir Krui Region,Lampung Province, Indonesia. Natural Resource Conflict Management Case Studies: An Analysis of Power, Participation and Protected Areas. FAO, Rome. http://www.fao.org diakses tanggal 29 Maret 2017.

Wulan et. al. 2015. Analisa Sektor Kehutanan Indonesia Tahun 1997-2003. Jakarta: Center for International Forestry Research.